Mengenal Lebih Dekat Paradigma Tafsir Maqashidi

Oleh : Rahmatullah al-Barawi (Associate Researcher LSQH)
Kuliah Umum tahun ajaran 2017/2018 mengambil tema Paradigma Tafsir Maqasidi yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir menghadirkan  Dr. A. Halil Thahir, MHI (Dosen STAIN kediri dan Penulis Buku "Ijtihad Maqasidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah").

Ada dua hal yang membuat tafsir Maqasidi menjadi penting utk dipertimbangkan. Pertama, tafsir Maqasid lahir dari turats dan tradisi keilmuan ulama klasik yang beragam, sebut beberapa tokoh semisal al-Ghazali, al-Juwaini, al-Thufi, dan al-Syathibi. Dengan kata lain, mahasiswa dan peneliti diajak utk menyelami kembali tradisi turats ulama terdahulu. Tetapi, tidak berhenti disitu, sebagai akademisi kita harus melanjutkan karya intelektual tersebut dengan menjaga tradisi yang bagus dan mengadopsi hal-hal baru yg lebih inovatif. Ini penting utk diperkuat, agar wacana keilmuan kita tidak mandeg dengan slogan "pokok'e" Quran Hadis titik.

Kedua, menguatnya pemahaman yang mencoba memahami al-Quran dan Sunnah secara tekstual tanpa melihat konteks dan hal-hal yang mengitarinya. Tafsir Maqasid dapat menjadi alternatif pemahaman, di satu sisi tetap mempertimbangkan bunyi teks, tetapi juga di sisi lain melihat konteks. Sehingga dari sini diharapkan melahirkan tafsir yang wasathiyah (moderat).

Di era modern kontemporer, telah banyak ulama-ulama yang melanjutkan hal tersebut, sebut saja misalnya Ibn 'Asyur, Ahmad al-Raisuni, Yusuf al-Qaradhawi, dan Jasser Auda.

Bagaimana cara kerja tafsir Maqasid?
1. Berpijak pada teks al-Quran dan Sunnah, serta memperluas jangkauan penunjukan maknanya beserta maqasidnya.
2. Mengkompromikan pesan-pesan yang bersifat universal dan umum dengan dalil-dalil yang bersifat khusus.
3. Menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan.
4. Mempertimbangkan hal-hal yang bisa terjadi di kemudian hari.
5. Interkoneksitas kemaslahatan.

Renungan reflektif dari diskusi hari ini: kita yang katanya belajar studi al-Quran seringkali lebih akrab dengan wacana intelektual di Barat ketimbang Timur. Sebagai pengkaji yang wasathiyah, seharusnya wacana Barat dan Timur dilahap secara seimbang dan kritis. Diskursus keilmuan Barat dan Timur akan melahirkan wacana keilmuan yang integrasi dan interkoneksi. Semakin banyak koneksitas keilmuannya dengan maslahah, adalah lebih banyak keutamaannya.  Maa kaana aktsaru ittishaalan bil mashalih kaana aktsaru fadhlan. Wallahu A'lam.

Editor : 'Ainatu Masrurin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Lisan di Era Tulisan ala Walter J. Ong

Sejarah Resitasi Mujawwad al-Qur'an