Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Budaya Lisan di Era Tulisan ala Walter J. Ong

Gambar
Budaya Lisan di Era Tulisan ala Walter J. Ong Oleh : Rahmatullah (Foto : Koleksi Pribadi)         Primary oral cultures atau kebudayaan lisan primer (kebudayaan yang tidak bersentuhan dengan tulisan) dewasa ini semakin sulit ditemukan. Bahkan, sejumlah kalangan menyebutkan jika era sekarang merupakan era keaksaraan dan tidak ada ruang penuh untuk budaya lisan. Hampir setiap gerak-gerik manusia saat ini berkenaan dengan budaya tulisan. Tentunya budaya tulisan memiliki jalan dan prinsip yang berbeda dengan budaya lisan.    Tetapi, hal tersebut berbeda dengan argumen yang dipaparkan oleh Ong dalam bukunya Orality and Literacy. Menurutnya, keaksaraan tidak dapat berdiri sendiri, keaksaraan bertransformasi dari tradisi lisan. Meski saat ini kita telah memasuki era literasi, tetapi peran kelisanan masih cukup penting.    Di antara poin penting kelisanan adalah menghasilkan performa verbal yang kuat dan indah serta bernilai artistik yang tinggi. Contohnya pembacaan al-Q

Sejarah Resitasi Mujawwad al-Qur'an

Gambar
Sejarah Resitasi Mujawwad al-Qur'an             oleh :'Ainatu Masrurin (Associate Researcher LSQH) (Foto : Koleksi Pribadi)   Tidak banyak data yang ditemukan untuk   menjangkau sisi historisitas pembacaan al-Qur’an dengan lagu. Ada dua teori yang diusung oleh Ibn Mandzur tentang asal-usul lagu al-Qur’an. Pertama, lagu al-Qur’an berasal dari nyayian budak kafir yang tertawan ketika perang melawan kaum Muslimin, dan pendapat kedua menyatakan bahwa itu didapat dari nyayian nenek monyang bangsa Arab, yang kemudian dipakai untuk melagukan al-Qur’an. Orientalis John Take atau W. S berasumsi bahwa lagu dan praktik melagukan al-Qur’an diperoleh dari hasil jiplakan musik gereja yang digunakan oleh pendeta-pendeta Kristen Qibti. Namun, pendapat ini disangkal dengan maklumat Nabi Muhammad berikut ini   حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ ، عَنْ بَقِيَّةَ بْنِ الْوَلِيدِ ، عَنْ حُصَيْنِ بْنِ مَالِكٍ الْفَزَارِيِّ : سَمِعْتُ شَيْخًا يُكَنَّى أَبَا مُحَمَّدٍ يُحَدِّثُ

Al-Dihlawy berbicara ‘Nasikh Mansukh’

Gambar
Al-Dihlawy berbicara ‘Nasikh Mansukh’ Oleh : Rahmatullah (Ass ociate Researcher LSQH) Salah satu pembahasan yang cukup banyak diperbincangkan dalam ilmu tafsir adalah pembahasan Nasikh Mansukh. Al-Dihlawy menekankan bahwa sejak dahulu, telah banyak pembahasan dan perbedaan dalam memahami Nasikh Mansukh. Secara umum, pembahasannya dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu ulama klasik dan ulama modern. Secara bahasa, naskh bermakna menghilangkan atau menghapus sesuatu dengan sesuatu, izalah syai’ bi syai’. Definisi inilah yang digunakan oleh para sahabat dan tabiin. Sedangkan dalam konteks ulama Ushul Fiqh dan juga digunakan dalam tradisi tafsir, definisinya lebih khusus lagi yaitu menghapuskan sebagian ayat dengan ayat yang lain. Jika melihat kembali khazanah intelektual Islam dari masa ke masa, sebenarnya tidak ada kata final terkait berapa jumlah ayat yang di-mansukh. Dalam konteks ulama klasik, satu poin yang dapat diketahui adalah wilayah naskh mansukh cukup banyak. B