Budaya Lisan di Era Tulisan ala Walter J. Ong

Budaya Lisan di Era Tulisan ala Walter J. Ong
Oleh : Rahmatullah
(Foto : Koleksi Pribadi)


      Primary oral cultures atau kebudayaan lisan primer (kebudayaan yang tidak bersentuhan dengan tulisan) dewasa ini semakin sulit ditemukan. Bahkan, sejumlah kalangan menyebutkan jika era sekarang merupakan era keaksaraan dan tidak ada ruang penuh untuk budaya lisan. Hampir setiap gerak-gerik manusia saat ini berkenaan dengan budaya tulisan. Tentunya budaya tulisan memiliki jalan dan prinsip yang berbeda dengan budaya lisan.

   Tetapi, hal tersebut berbeda dengan argumen yang dipaparkan oleh Ong dalam bukunya Orality and Literacy. Menurutnya, keaksaraan tidak dapat berdiri sendiri, keaksaraan bertransformasi dari tradisi lisan. Meski saat ini kita telah memasuki era literasi, tetapi peran kelisanan masih cukup penting.

   Di antara poin penting kelisanan adalah menghasilkan performa verbal yang kuat dan indah serta bernilai artistik yang tinggi. Contohnya pembacaan al-Qur`an dengan irama, teks al-Qur`an tidak akan menimbulkan kesan dan makna jika tidak dilantunkan. Itulah mengapa Allah menggunakan kata tuliyat dalam firman-Nya wa idza tuliyat alaihim ayatuhu zaadathum iimana (QS. Al-Anfal [8]: 2). Begitupula teks puisi atau lagu, tidak akan bermakna jika tidak disuarakan. Karenanya, bunyi atau kelisanan itulah yang menyentuh hati manusia. 

     Selain itu, tradisi tulisan berkembang pesat karena adanya tradisi lisan. Misalnya pemahaman makna ‘ember’ di zaman dahulu dan di zaman sekarang memiliki perluasan makna (generalisasi). Makna ember dalam kamus (tradisi tulisan) adalah wadah menyimpan air. Tetapi, saat ini ‘ember’ memiliki makna lain yaitu ‘Emang Benar’. Mengapa makna tersebut bisa berubah?. Jawabannya adalah budaya oral yang masih berjalan di masyarakat. Tutur kata secara langsung, mulut ke mulut, membuat dialektika kebahasaan menjadi cair. Dan pada akhirnya, dialektika lisan tersebut dibakukan ke dalam tulisan kembali. Begitu seterusnya perputaran dinamika bahasa lisan dan tulisan terjadi.
    Oleh karena itu, meskipun sulit menemukan primary oral cultures, tetapi, manusia tidak akan dapat lepas dari budaya lisan. Karena bahasa pada dasarnya berasal dari tuturan lisan yang kemudian di-tulis-kan. Fenomena semacam ini terjadi di semua bahasa, termasuk dalam sejarah al-Qur`an. Tentunya memahami al-Qur`an dengan melihat aspek oralitas dan literasi secara bersamaan dapat menjadi terobosan baru dalam menyelami samudera pengetahuan al-Qur`an yang tak bertepi.

Berikut dokumentasi kajian

 (Foto : Koleksi Pribadi)

*Review Kajian Orality and Literacy Walter J. Ong bersama bapak Ahmad Rafiq, Ph.D pada Jum'at 29 September 2017 di LSQH UIN Sunan Kalijaga Yk

(Ed/'Ain)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Resitasi Mujawwad al-Qur'an