Al-Dihlawy berbicara ‘Nasikh Mansukh’

Al-Dihlawy berbicara ‘Nasikh Mansukh’
Oleh : Rahmatullah (Associate Researcher LSQH)

Salah satu pembahasan yang cukup banyak diperbincangkan dalam ilmu tafsir adalah pembahasan Nasikh Mansukh. Al-Dihlawy menekankan bahwa sejak dahulu, telah banyak pembahasan dan perbedaan dalam memahami Nasikh Mansukh. Secara umum, pembahasannya dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu ulama klasik dan ulama modern.
Secara bahasa, naskh bermakna menghilangkan atau menghapus sesuatu dengan sesuatu, izalah syai’ bi syai’. Definisi inilah yang digunakan oleh para sahabat dan tabiin. Sedangkan dalam konteks ulama Ushul Fiqh dan juga digunakan dalam tradisi tafsir, definisinya lebih khusus lagi yaitu menghapuskan sebagian ayat dengan ayat yang lain.
Jika melihat kembali khazanah intelektual Islam dari masa ke masa, sebenarnya tidak ada kata final terkait berapa jumlah ayat yang di-mansukh. Dalam konteks ulama klasik, satu poin yang dapat diketahui adalah wilayah naskh mansukh cukup banyak. Bahkan, al-Dihlawy mengutip pendapat yang mengatakan jumlah ayat yang di-naskh dalam Al-Qur`an ada sekitar 500 ayat.
Berbeda dengan pendapat ulama klasik, mayoritas ulama modern menganggap bahwa jumlah naskh mansukh dalam Al-Qur`an tidak sebanyak itu. Bahkan menurut Ibn Arabi hanya sekitar 20 ayat saja, meski al-Dihlawy berpendapat lebih dari 20 ayat.
Selain itu, al-Dihlawy juga banyak memberikan contoh-contoh aplikatif penggunaan naskh mansukh. Meski demikian, ada beberapa contoh naskh mansukh yang menurut al-Dihlawy bukanlah naskh mansukh. Misalnya beliau mengutip pendapat yang menyatakan bahwa QS. Al-Baqarah [2]: 284 telah di-mansukh dengan ayat setelahnya QS. Al-Baqarag [2]: 286. Menurut beliau, hal ini bukan masuk dalam kategori naskh mansukh, tetapi pembahasan takhsish al-‘amm.
Melalui analisa al-Dihlawy tersebut, ada beberapa poin yang dapat direnungkan. Pertama, melihat suatu pembahasan secara komprehensif itu perlu. Sehingga dapat bijak dan dewasa dalam menghadapi keragaman dan perbedaan. Al-Dihlawy membukakan pintu kepada kita, dalam memahami naskh mansukh (dan juga kajian-kajian lainnya), jangan hanya fokus pada kajian modern, tetapi lihat juga konteks ulama klasik, begitupula sebaliknya.
Kedua, al-Dihlawy juga mencontohkan untuk menerapkan teori ke dalam aplikasi. Dalam konteks naskh mansukh, beliau memperlihatkan ayat-ayat yang dianggap di-naskh. Tetapi, tidak berhenti sampai disitu saja, tugas seorang peneliti adalah menganalisis dan mengkritisi teori yang telah diaplikasikan. Kita boleh tidak sepakat dengan sesuatu, tetapi kita harus mempunyai landasan argumen yang jelas. Inilah wujud nyata dari khazanah intelektual Islam yang didasarkan pada aqlun shalih wa qalbun salim (mengutip istilah dari Buya Syafii Maarif). Intelektual sejati berdasarkan rasionalitas dan spiritualitas, bukan sekadar fanatisme golongan, taklid buta, dan mencerca yang berbeda. Wallahu A’lam bish Showwab.


* Resume Pengajian Mingguan Kitab Al-Fauz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir, karya Waly Allah al-Dihlawy, bersama Ust. Abdul Jalil, S.Th.I., M.S.I. di Ruang Referensi FUSPI, UIN SUKA, tanggal 25 September 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Lisan di Era Tulisan ala Walter J. Ong

Sejarah Resitasi Mujawwad al-Qur'an